aku

Sketsa rembulan di angkasa raya menampakkan senyum bulanannya kembali. Aku, Gio, kembali memainkan ujung bolpoin untuk menenangkan jiwaku yang baru saja di hantam gelombang terbesar yang pernah ada. Sudut mataku mengatakan pada dunia bahwa aku perlu untuk menata hati yang pernah kacau tak karuan. Namun, akal sehatku menentang itu.
Kini aku tengah duduk sendiri di dalam kesepian menunggu putusan antara perdebatan hati dan pikiran. Mungkin untuk kali ini aku harus mengikuti pikiranku yang memang sedang kacau. Menurutku, buat apa kita terus-terusan menata hati kalau nyatanya akan kacau kembali seperti sediakala. Biarkan saja semua berjalan apa adanya. Toh, tak ada yang tahu siapa aku dan mengapa aku ada disini.
Itulah pikiran yang sempat ada di benakku selama tiga tahun ini. Tanpa adanya satu titik terang, aku menganggap bahwa semua yang ada dalam hidup ini hanyalah takdir. Semuanya harus dijalani tanpa adanya sedikit perubahan dari skenario yang dibuat Tuhan. Ada kalanya aku merasa terasing dengan diriku. Aku sendiri tak mengerti mengapa aku bisa begini. Aku sama sekali tak memperhatikan segala yang ada di sekitarku. Aku hanya mengambil teori diam adalah emas. Seringkali aku tak ambil pusing dengan apa yang dikerjakan oleh orang lain. Aku santai dengan hidupku. Namun aku hening saat rasa takut mencekamku.

Postingan Lebih Baru Beranda